Sisi negatif penilaian kita terhadap orang lain adalah bahwa tanpa sadar kita mengunakan diri sendiri sebagai tolak ukur. Oleh sebab itu muncul peribahasa, “Jangan mencubit, kalau tidak ingin di cubit”atau “sejauh kapal berlayar, pasti akan singah ke dermaga”. Semua penilaian pada akhirnya akan kembali pada diri sendiri. Di cubit itu memang sakit. Tapi seberapa sakit, tergantung dari yang di cubit. Ada yang dicubit sampai berdarah, tapi tidak merasakan apa-apa. Dan yang terasa mesra adalah jika bermain “cubit-cubitan” asal jgn keterlaluan. Sebab kegiatan “Cubit-mencubit” yang asyik ini pun jika tidak sesuai dengan norma dan tradisi bisa menjadi pemicu perang saudara.
Tidak ada seorang pun yang ingin menjadi “Parasit Obligat” secara sadar. Tapi kebanyakan orang tidak sadar. Sebab manusia memiliki sifat egosentris. Menjadikan diri sebagai patokan, sebab itu munculah sebuah kalimat sindiran, “Gajah didepan mata tidak nampak, semut diseberang lautan tampak”. Kesalahan sendiri seberapa besar pun pasti akan diabaikan, tapi kesalahan orang lain sekecil apapun pasti di perhitungkan.
Setiap tindakan pasti ada alasan. Seorang yang baik, sabar, penyanyang bisa saja jadi pembunuh yang kejam. Memang lebih mudah kalau kita mengantainya, “Memang dia orang jahat!” habis perkara. Tapi hidupkan tidak begitu sederhana. Pertanyaan yang biasa adalah, “Kenapa dia membunuh? Apa salah orang yang dibunuh?” hingga munculah istilah “Justice”.
Istilah Jahat sangat susah untuk di terjemahkan secara harfiah. Setiap sesuatu atau perbuatan yang tidak sesuai panca indera kita pasti di label “jahat” atau “buruk”. Tak kisah apa dan siapa. Seperti dalam sebuah karya Kahlil Gibran, “Panampakan sesutau/seseorang itu tergantung dari suasana hati” kala suka di puja, kala benci di caci maki. Orang yang baik pada kita, bukan berarti dia baik pada orang lain. Abstract lah sifatnya kalau seseorang itu berkata langtang membela seorang dengan mengatakan “Sebenarnya hatinya baik, mulutnya saja yang jahat” (no offence pls, hanya contoh). Baik hati pada siapa? Bermulut jahat pada siapa? Siapa yang tahu isi hati orang? Siapa yang bisa melihat masa depan? Seorang ibu yang membesarkan anaknya penuh kasih selama berpuluh- puluh tahun, pasti tidak akan menyangkah jika suatu ketika anaknya menjadi pembunuh.
Percayalah pada Hukum Karma.
Apa yang terjadi pada kita, pasti akibat yang didapat dari perbuatan keluarga kita. Baik atau buruk.
Hukum karma ada karena pertalian darah. Jika kita berbuat jahat, tapi orang sekitar selalu melayan kita dengan baik, pasti karena leluhur kita dulu banyak menanam budi. Jika kita selalu berbuat baik, tapi hasilnya selalu negatif.... Intropeksi! Bukan hanya untuk diri sendiri. Tapi untuk family juga. Sebab mereka adalah Karma kita. Yang menanam, tidak selamanya menjadi yang menuai!
Jika kita menanam pokok, bisa jadi yang menikmati hasilnya sanak kadang/ anak cucu kita. Atau kalau yang menanam moyang/ orang tua/ saudara / suami, bisa jadi kita yang memetik hasilnya.
Percayalah, Hidup Ini lebih indah jika kita melihatnya secara sederhana. Pakailah rinsip “IMPAS/ SERI” prisip ini akan meminimalkan sakit hati dan penderitaan diri. Setidaknya kita bisa berkata menghibur diri di akhir Insiden , ”Tak apalah dia cubit saya, saya dah balas cubit dia pun”. Dan besok atau lusa jika bersua....”No more Hurt feeling!”
Too Good to be True???
Just Try! Nothing to loose!